ISO 26000 is coming!
Pada tanggal 17-21 Mei 2010, ISO Working Group on Social Responsibility (ISO/WG SR) telah menyetujui untuk mengesahkan Draft International Standard (DIS) ISO 26000 menjadi Final Draft International Standards (FDIS) ISO 26000. Ini merupakan babak akhir sebelum terbitnya ISO 26000 menjadi standar internasional pada akhir tahun 2010. Mencermati perubahan dari DIS menjadi FDIS, ISO 26000 tidak mengalami perubahan yang significant pada hal-hal yang esensial. Prinsip-prinsip dan inti permasalahan (core issue) dari Tanggung Jawab Sosial tidak ada yang berubah secara signifikan dalam FDIS, bahkan serupa dengan yang ada di Committee Draft (CD) .
Yang saya ingin kemukakan di sini adalah tentang mensikapi ISO 26000 berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan terhadap sebuah SME di Indonesia. Dalam penelitian tersebut saya mencoba untuk mengintegrasikan Committee Draft ISO 26000 ke dalam strategi bisnis perusahaan. Proses integrasi ini juga mencakup analisa organisasi, visi, misi, kode etik, kebijakan, struktur organisasi, merancang skema CSR yang tepat, jadwal, dan anggaran. SME dipilih karena saya tertantang untuk menguji ISO 26000 yang dikatakan sesuai untuk berbagai bentuk organisasi. Selain itu, saya ingin memberi warna baru pada pemahaman CSR di Indonesia yang kebanyakan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan kekuatan uang yang lebih. Tentu saja yang saya pilih SME yang tidak terlalu kecil agar penelitian tersebut dapat mencakup semua aspek Tanggung Jawab Sosial.
Pertama, sangat jelas ISO 26000 bukan sistem sertifikasi manajemen untuk program CSR tetapi benar-benar panduan mengenai perilaku perusahaan yang bertanggungjawab sosial. Kedua, banyak faktor internal dan eksternal yang bisa membatasi organisasi untuk mengikuti panduan ISO 26000 sehingga menjalankan ISO 26000 merupakan pengalaman seumur hidup sebuah organisasi. Ketiga, memahami ISO 26000 tidaklah seperti membaca panduan aktivitas tetapi memerlukan pemahaman dasar mengenai Tanggung Jawab Sosial sebagai sebuah konsep bisnis berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan, bukan dari aspek sosial dan normatif. Keempat, memadukan ISO 26000 ke dalam suatu organisasi memerlukan pengetahuan dan kreativitas untuk menterjemahkan bahasa ISO 26000 yang komprehensif kepada bentuk implementasi yang relevan dengan organisasi tersebut. Dalam hal ini, kadangkala implementasi CSR yang tepat dalam suatu organisasi justru adalah dalam bentuk tindakan-tindakan yang sederhana.
Kehadiran ISO 26000 bisa memberikan babak baru dalam dunia CSR Indonesia jika terdapat ruang pembelajaran yang cukup mengenai pemahaman CSR dalam aspek bisnis berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan. Asosiasi industri dapat menggunakan ISO 26000 untuk menciptakan panduan CSR dalam konteks industri masing-masing. Pemerintah dan DPR juga dapat menggunakan ISO 26000 sebagai bahan referensi membuat undang-undang/peraturan yang berkaitan dengan isu-isu Tanggung Jawab Sosial karena ISO 26000 berkaitan erat dengan konsensus lembaga-lembaga international, seperti ILO dan PBB. Organisasi, baik bisnis maupun lembaga non-profit, dapat menggunakan ISO 26000 sebagai panduan untuk mengembangkan kompetensi melalui CSR, tidak semata-mata untuk pencitraan dan motivasi etika-sosial.
Saya melihat ada tiga tantangan terbesar dalam menyambut ISO 26000. Tantangan pertama datang dari pihak-pihak yang menginginkan "status quo" karena merasa nyaman dengan pemahaman CSR di Indonesia saat ini. Misalnya, pihak-pihak yang menjadikan perolehan dana sosial atau pencitraan sebagai tujuan utama CSR baik melalui regulasi pemerintah maupun program-program CSR. Tantangan kedua adalah justru dari pihak-pihak yang mendewakan ISO 26000 sehingga menjadikan ISO 26000 sebagai syarat kompetensi. Tantangan terakhir adalah kemampuan para konsultan CSR untuk menyatukan pemahaman bisnis berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan akhir CSR, membangun kekuatan jaringan untuk mengusung isu-isu CSR, dan memahami karakteristik konsultasi CSR yang dinamis.
Welcome ISO 26000!
Referensi: http://www.iso.org/iso/pressrelease.htm?refid=Ref1321
(SP)
English version
ISO 26000 is coming!
On May 17-21, 2010, the ISO Working Group on Social Responsibility (ISO/WG SR) leveled the status of the Draft International Standard (DIS) ISO 26000 to the Final Draft International Standard (FDIS) ISO 26000. This is the latest phase prior to the release of the ISO 26000 by the end of 2010. Reviewing the shift from DIS to FDIS, the ISO 26000 did not significantly change on its essential aspects. Social Responsibility principles and issues are similar in both DIS and FDIS, even with those of the Committee Draft (CD).
What I would like to state here is about underlining the ISO 26000 based on the research that I did in an SME in Indonesia. In the research, I tried to integrate the Committee Draft ISO 26000 in the business strategy of the SME. The integration process covered organization analysis, vision, mission, Code of Conduct, policies, organization structure, designing suitable CSR initiatives, scheduling, and budgeting. An SME was chosen because I would like to challenge the ISO 26000 that it was said applicable in any type of organization. In addition, I would like to add new color to the CSR understanding in Indonesia that the CSR implementations are mostly performed by the companies with excess power of money. Yet, I chose a "not too small" SME because I wanted all CSR issues could be covered in the study.
First, it is clear that ISO 26000 is not a certification for management system for CSR programs but it is truly guidelines for companies to perform socially responsible behavior. Second, a lot of internal and external factors can limit the organizations to follow the ISO 26000 guidelines, thus, implementing ISO 26000 is a "life time experience" of the organizations. Third, understanding ISO 26000 can not be attained by reading it like a set of activity guidelines, but it needs basic knowledge about CSR as a business concept for sustainability and sustainable development - not from social and normative views. Fourth, integrating ISO 26000 in an organization needs knowledge and ability to translate the comprehensive statements of ISO 26000 into relevant practices in the organization. In relation to this, sometimes the CSR implementations in an organization are no more than a set of simple actions.
The presence of ISO 26000 may initiate new era of the Indonesian's CSR if there is an adequate space for learning about CSR from the perspectives of sustainable business and sustainable development. Industry associations can use the ISO 26000 as a reference to create social responsibility guidelines within the industry context. The government and house of representative can use ISO 26000 as a reference in the developing laws and regulations on CSR issues because ISO 26000 is connected with the consensuses of international organizations, such as the UN and ILO conventions. Any type of organization-business entities and NGO, can use the ISO 26000 as a guidance to develop competencies through CSR, not merely used for imaging or social-ethical motivation.
I recognizes three challenges in welcoming the ISO 26000. The first challenge comes from those who want "status quo" because they feel comfortable with the current state of CSR understanding in Indonesia. For instance, people who generate social funds or make branding as the primary purpose of CSR through government regulations or CSR programs. The second challenge can come from those who excessively adore the ISO 26000 and make the ISO 26000 as a requirement for competency. The third challenge is the capability of CSR consultants to consolidate understanding on sustainable business and sustainable development as the very end purpose of CSR, develop and empower the networking to carry on CSR issues, and to understand the dynamics of CSR consulting.
Welcome ISO 26000!