Search This Blog

Powered By Blogger

Wednesday, June 9, 2010

Awal CSR dan Konteks Indonesia - The Beginning of CSR and Indonesian Context

Thomas dan Nowak (2006), dalam "Working Paper Series on Corporate Social Responsibility" menyatakan bahwa konsep Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) telah ada sejak tahun 1920-an ketika para pemimpin bisnis berdiskusi mengenai tanggung jawab dan tindakan responsif perusahaan. Meski banyak yang berpendapat bahwa perbincangan mengenai CSR telah ada sejak tahun 1930an, ketika A A Berle dan Merrick Dodd berdebat mengenai peran manager, banyak yang percaya bahwa konsep CSR sebagai tanggung jawab sosial pertama kali dikemukakan oleh Bowen pada tahun 1953 melalui bukunya "Social Responsibilities of the Businessman" (Thomas & Nowak, 2006). Hal ini sejalan dengan Carroll (1999) yang mengakui Bowen sebagai "Father of Corporate Social Responsibility" karena pendekatan Bowen yang begitu luas terhadap tanggung jawab bisnis, termasuk di dalamnya reaksi sosial, stewardship, audit sosial, dan corporate citizenship, serta mengacu kepada Stakeholder Theory.Thomas dan Nowak (2006) juga mengidentifikasikan bahwa pada tahun 1953 Peter Drucker dalam bukunya "The Practice of Management" menjelaskan bahwa salah satu dari delapan tujuan bisnis adalah tanggung jawab publik.

Kemudian, Carroll (1999) menyatakan beberapa penulis CSR terkemuka pada era 1960-an, seperti Keith Davis, Joseph W McGuire, William C Frederick, dan Clarence C Walton. Pada era 1960-an, ide CSR berkembang secara formal menjadi teori bisnis. Pada tahun 1970, Milton Friedman memberikan pandangan yang berbeda mengenai teori CSR (Friedman, 1970). Ide Friedman yang "bisnis-sentris" mengenai tanggung jawab perusahaan menyatakan bahwa hanya individu yang memiliki tanggung jawab sosial. Pebisnis bertanggung jawab terhadap pemegang saham dalam menggunakan sumber daya yang ada untuk memperoleh keuntungan. Akan tetapi, Friedman menggarisbawahi pentingnya pebisnis untuk menghindari "fraud" dan melaksanakan bisnis sesuai dengan aturan main yang terbuka dan persaingan bebas. Pernyataan ini menjadi perbincangan para penulis sampai sekarang.

Sethi (1975) di dalam tulisannya mengemukakan dimensi pengukuran kinerja sosial dalam tiga perilaku sosial, yaitu kewajiban sosial, tanggung jawab sosial, dan reaksi/kepekaan sosial. Model kinerja sosial perusahaan yang diusulkan oleh Sethi tentu saja bertentangan dengan konsep tanggung jawab bisnis Friedman. Moir (2001) menjelaskan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan dapat dilihat dari teori yang berbeda; 1) Stakeholder Theory, 2) Social Contract Theory, dan 3) Legitimacy Theory. MacAleer (2003) juga menentang pandangan tanggung jawab bisnis yang bertuju hanya kepada pemilik. Ia mengatakan bahwa pandangan Friedman tidak sehat dan tidak berpandangan jauh ke depan.

Pada tahun 1980-an, konsep CSR berkembang seiring dengan pemikiran R Edward Freeman. "Stakeholder Theory" secara formal baru dirumuskan oleh Freeman dan Reed (1983) sebagai landasan yang efektif dalam tata kelola organisasi. Literatur Wood (1991) secara jelas menempatkan CSR dalam konteks yang lebih luas dan mendukung Stakeholder Theory dari Freeman. Wood menyatakan tiga tipe proses yang bisa digunakan pebisnis dalam melaksanakan motivasi CSR. Proses-proses tersebut adalah manajemen lingkungan, manajemen isu, dan manajemen pemangku kepentingan. Pada akhir tahun 1990-an, Carroll (1999) menyatakan bahwa konsep CSR akan tetap menjadi bagian penting dalam praktek bisnis karena telah menjadi tiang pondasi berbagai teori dan akan tetap sejalan dengan harapan publik terhadap komunitas bisnis.

Melihat sejarah munculnya konsep CSR, maka jelaslah bahwa CSR merupakan konsep bisnis. Oleh sebab itu para akademisi bisnis, konsultan bisnis, dan praktisi bisnis adalah orang-orang yang seharusnya mengambil peran terbesar di dalam mempromosikan dan mempertahankan prinsip-prinsip CSR. Kemunculan CSR berasal dari perspektif bisnis yang mengakomodasi aspek sosial untuk memenuhi harapan pemangku kepentingan. Tapi bagaimanapun, bisnis adalah bisnis, yang tidak bisa membawa misi sosial sebagai motivasi utama.

Dalam konteks Indonesia, ketika fungsi Public Relation dan Corporate Communication yang menjadi pelaku utama dalam program-program CSR, maka nuansa pencitraan perusahaan sangat kental. Pemahaman yang tidak lengkap mengenai CSR, membuat masyarakat hanya mengenal CSR sebatas program dan terpaku pada investasi sosial, pengembangan masyarakat, filantrofi, penghargaan, dan kampanye. Masyarakat menjadi terbiasa dengan "proposal CSR" dan "program CSR". Padahal, CSR lebih dari itu. CSR merupakan sebuah konsep atau teori yang implementasinya bisa dalam bentuk tata nilai, kebijakan, proses pengambilan keputusan, perilaku, strategi bisnis, proses bisnis, dan tindakan sebuah perusahaan. Yang lebih parah lagi, CSR dianggap menjadi jalan keluar masalah sosial yang kompleks dan ketika proses pencitraan perusahaan melalui CSR gagal maka konsep CSR akan menjadi sangat tidak populer.

Pemerintah India memahami bahwa CSR sebagai sebuah konsep atau teori bisnis tidak bisa dipaksakan. Oleh sebab itu negara tersebut mengeluarkan CSR Voluntary Guidelines pada akhir tahun 2009. Sebaliknya, Indonesia melakukan kejanggalan dengan memasukkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ke dalam UU PT No.40 thn 2007. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar Indonesia bisa memahami CSR dengan benar. Pertama, akademisi bisnis, konsultan bisnis, dan praktisi bisnis, termasuk juga asosiasi industri, melakukan advokasi terhadap konsep CSR yang benar yang harus dilakukan. Kedua, advokasi terhadap konsep CSR haruslah mengacu kepada panduan-panduan CSR yang ada di dunia yang dapat dipergunakan dalam implementasi konsep CSR. Dan yang terakhir, perlu pemahaman dari praktisi Public Relation dan Corporate Communication agar tidak menggunakan konsep dan terminologi CSR secara berlebihan dalam pencitraan perusahaan.

(SP)


English version:

Thomas and Nowak (2006), in their Working Paper Series on Corporate Social Responsibility, cited that the concept of Social Responsibility (SR) or Corporate Social Responsibility (CSR) itself started in the 1920s when some business leaders discussed about responsibilities and responsiveness practices. Even though some suggested that the CSR debates intensively begun in the 1930s when A A Berle and Merrick Dodd argued about the role of managers, many believe that the CSR concept as a social obligation was first formally introduced by Bowen in 1953 through his book Social Responsibilities of the Businessman (Thomas & Nowak, 2006). This is in line with Carroll (1999) that recognized Bowen as the ‘Father of Corporate Social Responsibility’ because of Bowen’s broad approach to business responsibilities including social responsiveness, stewardship, social audit, corporate citizenship, and the Stakeholder Theory. Thomas and Nowak (2006) also identified that, in 1953, Peter Drucker in his book The Practice of Management mentioned public responsibility as one of the eight key areas of business objectives.


Furthermore, Carroll (1999) mentioned some prominent writers of the CSR in the 1960s, such as Keith Davis, Joseph W McGuire, William C Frederick, and Clarence C Walton. In the era of the 1960s, the CSR idea was more formalized as a business theory. In 1970, the minimalist view of Milton Friedman had also been indifferently contributed to the CSR theory (Friedman, 1970). Friedman’s business-centric idea of corporate responsibility suggested that it was only individuals who had social responsibility. The businessman was responsible to shareholders in using resources to make profits. However, Friedman stressed out the importance of businessmen to avoid fraud and to do business within the rules of the game in open and free competition. This statement has been debated for decades by many writers until now.

The work of Sethi (1975) discussed the dimensions of measuring social performance in three kinds of social behaviors. The three kinds were social obligation, social responsibility, and social responsiveness. This three-level model of corporate social performance of Sethi was surely conflicting with Friedman’s business responsibility concept. Moir (2001) explained the corporate social responsibility from the views of different theories; (1) Stakeholder Theory, (2) Social Contract Theory, and (3) Legitimacy Theory. McAleer (2003) was also one of those who was against this stockholder view of business responsibility by saying that Friedman’s idea was unsound and not clearly envisioned.

In the 1980s, the emerging CSR concept was taken up by the work of R Edward Freeman. The Stakeholder Theory was proposed by Freeman and Reed (1983) as an effective foundation for corporate governance. Wood’s (1991) literature also significantly placed a broader context of CSR and supported the Freeman’s Stakeholder Theory. Wood cited the three main types of processes that businesses might be using to implement their CSR motivations. The processes were environmental management, issues management, and stakeholder management. By the end of the 1990s, Carroll (1999) cited that the CSR concept would remain an essential part of the business practice because it has become a vital underpinning of many other theories and it would be continuously be in line with what the public expected from the business community.

The history of CSR indicates that CSR is a business theory. Therefore, business academicians, business consultants, and businessmen are those who should play significant role in promoting and advocating CSR principles. CSR comes from a business perspective that put into account social aspects to fulfill stakeholder expectations. However, a business is still a business, which can not accommodate social mission as its motivation.

In Indonesia context, when Public Relations and Corporate Communication has become the main actors in carrying out "CSR programs", corporate imaging would be the main intentions. The lack of understanding in CSR has made people only know CSR by only its programs, social investment, community development, philanthropy, and awarding. People is familiar with "CSR Proposasl" and "CSR programs". Besides, CSR is more than that. CSR is a concept or theory that its implementation can be integrated in value system, policy, decision-making process, behavior, business strategy, business process. Worse, CSR is perceived as a way out from complex social problems and when corporate imaging through CSR is failed, CSR becomes unpopular.

The government of India recognized that, as a concept or business theory, CSR cannot be made mandatory. Hence the country published CSR Voluntary Guidelines by the end of 2009. On the other side, Indonesia awkwardly included "Social and Environment Responsibility" in the Limited Liability Corporation Law No.40 2007. There are several things that the Indonesians can do to fix the situation and understand CSR. First, business academicians, business consultants, and business sector, including the industry association, should advocate the CSR concept in right ways. Second, CSR advocacy should regard the use of CSR international guidelines in CSR implementation. Third, there should be understanding from Public Relations and Corporate Communications practitioners not to overuse CSR concept and terminology.