Search This Blog

Powered By Blogger

Friday, June 11, 2010

Kompensasi Polusi Udara; Meninjau Pemahaman CSR - Compensate Air Pollution; Take a Look on CSR Understanding

Bapedalda (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah) Kota Padang telah menyatakan bahwa 11 pabrik yang mengolah semen, karet, dan minyak kelapa sawit di daerah tersebut masih berkontribusi mencemari udara karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki peralatan pencegahan pencemaran udara (www.mediaindonesia.com, 11 Juni 2010) . Lebih lanjut lagi, Kepala Bapedalda Kota Padang Indang Dewata mengatakan "untuk mengurangi kerugian masyarakat akibat pencemaran udara yang muncul, perusahaan sementara lebih diarahkan agar melaksanakan program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility CSR)". Dengan program CSR, perusahaan diwajibkan memberi bantuan perumahan dan layanan kesehatan, khususnya bagi warga yang tinggal dekat pabrik.

Kompensasi atas pencemaran udara memang dapat dijalankan dengan memperhatikan perspektif CSR. Konsep CSR di perusahaan idealnya disesuaikan dengan kondisi bisnis dan strategi perusahaan. Melalui CSR, perusahaan mewujudkan niat baik untuk mengurangi/memperbaiki dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. Dengan demikian, diharapkan terjadi keberlanjutan bisnis yang mendukung keberlanjutan pembangunan.

Dalam kasus ini, melakukan kompensasi CSR atas pencemaran udara kurang tepat jika tidak didahului oleh tindakan perusahaan tersebut untuk semaksimal mungkin mencegah pencemaran udara. Melakukan manajemen polusi dan limbah merupakan perwujudan prinsip CSR yang harus dilakukan terlebih dahulu karena sesuai dengan kondisi bisnis dan strategi perusahaan-perusahaan tersebut . Tindakan yang bisa dilakukan selanjutnya adalah melakukan investigasi dampak pencemaran udara yang selama ini terjadi terhadap masyarakat. Setelah diketahui dampaknya, barulah perusahaan dapat melakukan kompensasi terhadap dampak negatif tersebut.

Perusahaan sebaiknya tidak memberikan kompensasi yang akan menciptakan ketergantungan masyarakat kepada perusahaan tersebut. Pelayanan masyarakat bisa dilakukan dengan mengutamakan pelayanan yang berkaitan dengan penyakit yang timbul dari polusi udara. Bantuan perumahan bisa saja dilakukan terutama terhadap masyarakat yang terkena dampak langsung pencemaran udara, sehingga mereka bisa mendapatkan tempat tinggal yang lebih sehat.

Pada kasus-kasus tertentu, kompensasi melalui CSR dapat diutamakan jika memang perusakan tidak dapat dihindarkan karena keterbatasan teknologi atau aspek lainnya. Misalnya, perusahaan penerbangan tidak bisa menghilangkan pencemaran udara dari mesin pesawat terbang yang digunakan. Maka kompensasi gas karbon dari pesawat terbang dengan melakukan penghijauan merupakan jalan terbaik.

Bapedalda perlu memahami bahwa peran utama Bapeldada dalam hal ini adalah memastikan perusahaan-perusahaan melakukan manajemen polusi dan limbah sebagai bagian dari CSR perusahaan. Bapeldada bisa mendorong perusahaan melalui peraturan daerah dan pengembangan teknologi pencegahan polusi udara. Barulah setelah itu kompensasi melalui CSR bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan mengutamakan transparansi. Itu pun bisa dilakukan setelah ada kajian akademik yang benar dan dapat diandalkan mengenai dampak pencemaran udara terhadap masyarakat dan lingkungan hidup.

Referensi: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/11/148407/126/101/11-Pabrik-di-Padang-Cemari-Udara

(SP)


English version

Bapepalda (the local government agency that manages environment) of Padang City stated that 11 factories, which produced cement, rubber, and crude palm oil,polluted the air because these companies did not install polution prevention equipments (www.mediaindonesia.com, 11 June 2010). Moreover, the Head of Bapepalda of Padang City stated "to reduce the community losts due to the air pollution, companies are encouraged to carry out CSR programs". Through CSR, companies are obliged to give housing credit and health services, especially to those live near the factories.

From the CSR perspectives, compensation on air pollution can be carried out. CSR concept in corporations ideally is adjusted and integrated to the businesses and strategies. Through CSR, companies make true their good intention to fix/lessen the negative impact and maximize positive impact. hence, it is expected that business sustainability and sustainable development exists.

In this case, compensate air pollution through CSR is less likely favorable if previously there are no companies' efforts to as much as possible trying to reduce air pollution. Implementing waste and pollution management is one of CSR practices that should be prioritized by these companies. The next action is performing investigation on the negative impact. on community due to the air pollution. Afterward, companies can initiate programs to compensate the negative impacts.

Companies should not initiate compensation programs that will result community dependencies to the company. Community service can be carried out by prioritizing services that are related to the illness due to air pollution. Housing credit can be conducted for the people who directly influenced by the air pollution, therefore, they can move and have better living.

In particular cases, compensation through CSR can be prioritized if the damage cannot be avoided due to technology limitation or other boundaries. For example, airlines cannot prevent air pollution from their aircraft engines. Hence, reforestation will be the best air pollution compensation.

Bapedalda should realize that the main role of the agency is to ensure that the companies give adequate efforts to implement waste and pollution management as part of their CSR. Bapedalda should force the companies through local government regulations and development of technology for air pollution prevention. Afterward, the companies can compensate through CSR programs by considering community involvement and transparency. These can be carried out if valid and reliable academic assessment on the air pollution impacts on community and natural environment has been performed.

CSR; Kewajiban atau Sukarela? - CSR; Mandatory or Voluntary?

Apakah CSR termasuk kewajiban atau sukarela?
Itu yang ada di benak saya dan banyak orang ketika UU No.40 tahun 2007 mewajibkan perusahaan yang bergerak atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melakukan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL/CSR).

Carroll (1991) menggambarkan CSR dalam sebuah piramid yang terdiri dari empat struktur tanggung jawab; ekonomi, hukum, etika, dan filantrofi. Keempatnya merupakan kesatuan utuh CSR dan idealnya dijalankan dari yg paling dasar. Dua struktur di bawah harus dijalankan terlebih dahulu, sebelum memenuhi dua struktur berikutnya.

Tanggung jawab ekonomi berarti perusahaan bertanggung jawab untuk meraih untung dan memberi manfaat ekonomi bagi pemilik. Ini adalah tanggung jawab yang timbul dari sifat alami sebuah entitas bisnis. Tanggung jawab hukum berarti perusahaan wajib mematuhi hukum dan undang-undang dalam menjalankan bisnisnya. Ini adalah tanggung jawab yang timbul akibat adanya kesepakatan formal di antara stakeholder mengenai apa yang harus dan tidak boleh dilakukan perusahaan. Tanggung jawab etika, artinya perusahaan menghormati konsensus informal dalam bentuk nilai moral, budaya, dan norma lokal maupun internasional. Tanggung jawab filantrofi artinya perusahaan bertanggung jawab untuk bersikap murah hati kepada stakeholders secara sukarela.

Ketika Carroll menempatkan aspek hukum sebagai bagian dari CSR, UU
No.40 tahun 2007 malah membalikkan tatanan CSR dengan menempatkan CSR sebagai salah satu aspek hukum. Hal ini dapat merusak tatanan bisnis dan masyarakat. Pertama, ketika tanggung jawab etika dan filantrofi menjadi kewajiban hukum, maka moralitas bisnis hanya dipandang dari pemenuhan legal semata. Kedua, perusahaan yang tidak sanggup melakukan CSR karena keterbatasannya akan memiliki resiko hukum. Ketiga, ketika tanggung jawab etika dan filantrofi diberi landasan hukum, maka perusahaan dengan sumber daya besar akan memiliki celah untuk menciptakan ketergantungan dan mempengaruhi, bahkan menguasai, negara dan masyarakat. Keempat, kerancuan ini menciptakan kondisi bisnis yg tidak kompetitif karena UU No.40 tahun 2007 dapat menggiring masyarakat untuk memaksa perusahaan mengutamakan tanggung jawab filantrofi di atas tanggung jawab lainnya.

Sebagai ilustrasi, jika saya memiliki perusahaan dengan dana tidak terbatas, maka dengan senang hati saya akan penuhi UU No.40 tahun 2007 pasal 74 mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dengan berbagai cara; menyelenggarakan beasiswa, membangun mesjid, sekolah, jalan, dan jembatan, mendanai ratusan UMKM, melakukan reboisasi, mendirikan rumah sakit dan panti sosial, membuat taman, memberikan santunan sosial secara rutin. Mengapa?

Saya akan dianggap bermoral meski jelas-jelas produk yang saya hasilkan tidak bermutu.
Perusahaan saya lebih bebas beroperasi karena kompetitor lain yang memiliki sumber dana terbatas dan tidak sanggup melakukan CSR akan menghadapi kendala hukum. Kemudian, saya menciptakan ketergantungan masyarakat kepada perusahaan saya melalui fasilitas publik yang saya sediakan. Dengan demikian sangat mudah bagi saya untuk mempengaruhi pemerintah dan masyarakat untuk kepentingan bisnis saya. Di sisi lain, kompetitor yang memiliki dana terbatas sibuk menghadapi tuntutan masyarakat untuk berbuat "baik" seperti yang saya lakukan.

Sangat jelas bahwa Piramida CSR Carroll memasukkan aspek "kewajiban" dan "sukarela" dalam tatanan yang sesuai dengan sifat alami bisnis dan tatanan sosial masyarakat. Sangat disayangkan bahwa Indonesia memandang CSR sebagai "kewajiban" tanpa memahami CSR dalam konteks bisnis dan hubungan sektor industri-masyarakat-pemerintah.

(SP)


English version

Is CSR mandatory or voluntary? This question came up in my mind and perhaps in many people's mind when the Limited Liability Corporation Act No.40 year 2007 has obliged the companies, which operate in natural resources extraction, to do "Corporate Social and Environment Responsibility".

Carroll (1991) described CSR in a form of pyramid, which was consisted of four-responsibilities structure; economy, legal, ethics, and philanthropy. These four elements are the complete unity of CSR and ideally performed with bottom-up approach. The first two elements below should be carried out before fulfilling the next two elements on top.

Economic responsibility means that a company is responsible to gain profits and contribute economic values to the owners. This responsibility raises from the nature of business entity. Legal responsibility indicates the obligation of a company to follow the laws and regulations in doing business. This responsibility comes from the formal consensus among stakeholders about what a company must and must not do. Ethical responsibility refers to the appreciation of a company to informal consensus, which can be in form of moralities, cultures, and local and international norms. Philanthropic responsibility means that a company is responsible to behave charitable to stakeholders with voluntary conduct.

When Carroll put legal aspect as part of the CSR, the
Limited Liability Corporation Act No.40 year 2007 has reversed the CSR order by placing CSR as part of the law. This will result the destruction of business and social order of society. First, when ethics and philanthropy become legal obligations, then business morality will be merely seen from legal fulfillment. Second, the companies that have no capability to do CSR will have the risks to face lawsuit. Third, when ethical and philanthropic responsibilities are given the legal basis, the companies that have large resources will have opportunities to create dependencies and influence, or even control, the state and society. Fourth, this confusion will drive uncompetitive business condition because the the Limited Liability Corporation Act No.40 year 2007 can drive society to force the companies to prioritize philanthropic responsibility above others.

An illustration, if I have a company with very very large budget, I would like to
obligingly follow the Limited Liability Corporation Act No.40 year 2007 article 74 about Corporate Social and Environmental Responsibility through various ways; provide scholarships, build mosques, road, and bridges, give funds to hundreds micro business and SMEs, carry out reforestation, build hospitals and charitable institutions, build community parks, and regularly donate community funds. Why?

I will be perceived a moral businessman even though my products are truly execrable. My company can operate freely because other competitors that have limited resources and cannot carry out CSR programs may be put in to the court. Then, I create society dependencies to my company through public facilities that my company has provided. Hence, I will be easily influence the government and society for the sake of my business interests. On the other hand, competitors that have low budget will be busy handling the demands of community to do "good" similar to what I have done.

it is clear that the CSR pyramid of Carroll includes "mandatory" and "voluntary" aspects in an order appropriately regarding the nature of business and social order of society. It is regrettably that Indonesia perceives CSR as an "obligation" without understanding CSR in business context and the relationship of private sector-state-society.

(SP)